indosiar.site Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa rencana redenominasi Rupiah, atau penyederhanaan nominal mata uang dari misalnya Rp1.000 menjadi Rp1, tidak akan menurunkan nilai tukar maupun daya beli masyarakat.
Langkah ini murni bersifat administratif untuk mempermudah transaksi dan menciptakan sistem keuangan yang lebih efisien, bukan pemotongan nilai uang seperti sanering yang pernah terjadi pada masa lalu.
BI menjelaskan, dalam redenominasi, hanya angka nominal yang disederhanakan tanpa mengubah daya beli atau harga barang. Artinya, jika segelas kopi saat ini dijual Rp10.000, setelah redenominasi harganya menjadi Rp10 dalam sistem baru. Nilai riil barang tetap sama, yang berubah hanyalah cara penulisannya.
Kebijakan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap stabilitas Rupiah. Dengan struktur nilai yang lebih sederhana, sistem pembayaran nasional akan lebih efisien, baik di level bisnis maupun transaksi ritel.
Mengapa Redenominasi Diperlukan?
BI menjelaskan bahwa Indonesia perlu menyesuaikan struktur nilai mata uangnya agar sejalan dengan standar internasional. Saat ini, nominal Rupiah terbilang besar dibanding mata uang negara lain di kawasan Asia Tenggara. Misalnya, 1 dolar AS setara dengan sekitar Rp15.000, sedangkan 1 ringgit Malaysia hanya sekitar 4,5 ringgit per dolar AS.
Redenominasi diharapkan memudahkan perbandingan harga antarnegara dan meningkatkan citra Rupiah sebagai mata uang yang stabil dan modern. Selain itu, langkah ini juga mengurangi risiko kesalahan pencatatan dalam transaksi keuangan, terutama di sektor perbankan, perdagangan, dan akuntansi.
Namun, BI menegaskan bahwa penerapan kebijakan ini akan dilakukan secara bertahap dan membutuhkan kesiapan infrastruktur ekonomi serta edukasi masyarakat. Tujuannya agar tidak menimbulkan kebingungan dalam masa transisi.
Tidak Sama dengan Sanering, Ini Bedanya
Masyarakat seringkali khawatir redenominasi akan menurunkan nilai uang seperti kebijakan sanering yang dilakukan pada 1965. BI menegaskan, kedua hal ini sangat berbeda.
Pada sanering, pemerintah memangkas nilai uang akibat hiperinflasi, sehingga daya beli masyarakat turun drastis. Sedangkan pada redenominasi, nilai uang tetap sama — yang berubah hanya satuan angka untuk mempermudah administrasi.
BI mencontohkan, jika seseorang memiliki tabungan Rp10 juta, setelah redenominasi nilainya akan tertulis Rp10 ribu, tetapi daya beli dan nilai ekonominya tetap sama. “Masyarakat tidak perlu panik. Redenominasi tidak mengurangi kekayaan, harga, atau nilai tukar,” tegas pihak BI.
Efek Jangka Panjang: Stabilitas dan Efisiensi Ekonomi
Selain mempermudah transaksi, redenominasi juga dinilai akan membawa efek psikologis positif. Masyarakat akan lebih percaya diri menggunakan Rupiah dalam perdagangan internasional karena tampilannya lebih sederhana dan sejajar dengan mata uang negara lain.
Dalam jangka panjang, langkah ini juga berpotensi meningkatkan efisiensi sistem keuangan nasional. Lembaga perbankan dan bisnis akan lebih mudah dalam pencatatan transaksi, laporan keuangan, serta pengelolaan harga.
Namun, BI mengingatkan bahwa keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada kestabilan ekonomi makro, termasuk inflasi yang terjaga, pertumbuhan ekonomi positif, dan kepercayaan publik terhadap kebijakan moneter.
Shutdown di Amerika Serikat: Ancaman bagi Perekonomian Global
Sementara Indonesia fokus menjaga stabilitas moneter, Amerika Serikat justru tengah menghadapi tekanan ekonomi akibat shutdown pemerintahan federal yang berkepanjangan. Penutupan sebagian layanan pemerintah tersebut membuat banyak pegawai negeri tidak menerima gaji dan sejumlah layanan publik berhenti total.
Shutdown yang terjadi kali ini menjadi yang terlama dalam sejarah AS, berlangsung hingga lebih dari 40 hari sebelum akhirnya muncul kesepakatan politik di Senat. Pemerintah federal sempat berhenti beroperasi karena Kongres gagal menyetujui rancangan anggaran yang diajukan Gedung Putih.
Selama periode itu, ribuan pekerja federal harus dirumahkan sementara tanpa bayaran, dan berbagai program sosial serta layanan publik seperti pengawasan bandara, lembaga riset, dan taman nasional tidak berfungsi. Kondisi tersebut memicu kekhawatiran akan dampak ekonomi yang luas, termasuk potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi AS.
Kesepakatan Bipartisan Selamatkan Pemerintahan Federal
Setelah perdebatan panjang, para senator akhirnya mencapai kesepakatan bipartisan untuk melanjutkan pendanaan federal. Kesepakatan ini diharapkan mampu membuka kembali layanan pemerintahan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem politik Amerika Serikat.
Meski demikian, para ekonom memperingatkan bahwa dampak shutdown tidak bisa hilang begitu saja. Aktivitas ekonomi AS sempat terganggu, daya beli masyarakat menurun, dan banyak sektor bisnis merasakan efek domino dari kebijakan politik yang berlarut-larut tersebut.
Beberapa analis bahkan menyebut shutdown ini sebagai bentuk “kiamat mikro” bagi ekonomi AS. Selain menimbulkan kerugian finansial, situasi itu juga memperburuk citra Amerika sebagai negara dengan sistem politik yang stabil dan efisien.
Redenominasi vs Shutdown: Dua Wajah Stabilitas Ekonomi
Menariknya, situasi di Indonesia dan Amerika Serikat menunjukkan dua wajah berbeda dalam mengelola kebijakan ekonomi. Di satu sisi, Bank Indonesia berupaya menyederhanakan sistem moneter melalui kebijakan redenominasi demi efisiensi jangka panjang. Di sisi lain, AS justru terguncang karena tarik-menarik politik yang berujung pada stagnasi pemerintahan.
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa stabilitas ekonomi tidak hanya bergantung pada kekuatan finansial, tetapi juga pada koordinasi dan kepercayaan politik. Indonesia kini berada di jalur yang lebih hati-hati, memastikan setiap kebijakan moneter tetap menjaga ketenangan publik dan keberlanjutan ekonomi nasional.
Kesimpulan: Kekuatan Ekonomi Ada pada Stabilitas dan Kepercayaan Publik
Rencana redenominasi Rupiah oleh Bank Indonesia dan krisis shutdown di Amerika Serikat sama-sama menjadi cerminan pentingnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Jika kebijakan dijalankan dengan komunikasi yang jelas dan transparan, masyarakat akan mendukung langkah reformasi ekonomi.
Indonesia tampaknya berada dalam posisi yang lebih stabil dengan kebijakan moneter yang terukur dan kredibel. Sementara itu, pengalaman Amerika menjadi pelajaran berharga bahwa politik yang tidak harmonis dapat mengguncang fondasi ekonomi, bahkan di negara adidaya sekalipun.
Dengan strategi yang hati-hati, Bank Indonesia berupaya memastikan bahwa perubahan dari Rp1.000 menjadi Rp1 tidak hanya simbol penyederhanaan angka, tetapi juga bukti bahwa stabilitas dan kepercayaan publik tetap menjadi pilar utama kekuatan Rupiah di mata dunia.

Cek Juga Artikel Dari Platform dailyinfo.blog
