indosiar.site Sejumlah pelajar di berbagai daerah, khususnya siswa kelas 12 SMA di Kota Bandung, menyuarakan ketidakpuasan terhadap pelaksanaan Tes Kejujuran Akademik (TKA).
Tes ini rencananya menjadi salah satu bentuk asesmen nasional untuk mengukur kemampuan akademik sebelum melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Namun, banyak siswa menilai pelaksanaan TKA kali ini terlalu mendadak. Mereka mengaku hanya memiliki waktu persiapan kurang dari tiga bulan untuk mempelajari seluruh materi ujian. Kondisi ini membuat para pelajar merasa terbebani dan tidak siap menghadapi ujian nasional yang formatnya baru.
Keluhan tersebut tidak hanya berhenti di media sosial.
Sebagian siswa kemudian membuat petisi daring di situs change.org dengan judul “Batalkan Pelaksanaan TKA 2025.”
Dalam waktu singkat, dukungan publik terhadap petisi ini meningkat pesat dan menembus ratusan ribu tanda tangan.
Banyak dari penandatangan menyampaikan alasan serupa: waktu belajar terlalu singkat, materi belum dikuasai sepenuhnya, dan perubahan sistem penilaian terasa mendadak. Mereka berharap pemerintah mau meninjau ulang jadwal pelaksanaan tes agar siswa dapat lebih siap.
Respons dari Kementerian Pendidikan
Menanggapi munculnya petisi tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) memberikan klarifikasi.
Kepala BSKAP, Toni Toharuddin, meminta para pelajar tidak terlalu mengkhawatirkan TKA. Ia menegaskan bahwa tes tersebut tidak berbeda jauh dari ujian lain yang selama ini dilaksanakan di sekolah.
Menurut Toni, TKA hanyalah alat ukur tambahan untuk melihat kemampuan dasar siswa, bukan faktor tunggal dalam penentuan kelulusan.
Ia juga mengimbau agar siswa tidak “mendramatisasi” ujian ini secara berlebihan, karena sistem asesmen nasional sudah dirancang agar lebih menekankan pada pemahaman konsep, bukan sekadar hafalan.
“TKA itu bentuk evaluasi akademik biasa. Siswa tidak perlu khawatir berlebihan. Kami memastikan semua prosedur sudah mempertimbangkan kesiapan satuan pendidikan,” jelas Toni dalam pernyataannya.
Guru dan Pemerhati Pendidikan Bersuara
Meski pemerintah meminta publik untuk tenang, sejumlah kalangan pendidikan menilai kekhawatiran siswa cukup beralasan.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, menyebutkan bahwa dalam praktiknya, banyak sekolah justru menjadikan TKA sebagai ujian wajib.
Padahal, menurut ketentuan resmi, TKA seharusnya bersifat tidak wajib. Namun, di lapangan, mayoritas sekolah tetap mewajibkan siswanya mengikuti ujian ini sebagai bagian dari persiapan untuk pendaftaran universitas.
Hal ini membuat tekanan bagi siswa semakin besar, terutama di sekolah-sekolah dengan tingkat kompetisi akademik tinggi.
Satriawan juga menyoroti minimnya sosialisasi dari pemerintah kepada sekolah dan guru.
Ia mengatakan bahwa banyak tenaga pendidik belum memahami secara utuh struktur soal dan sistem penilaian TKA, sehingga sulit menyiapkan strategi pembelajaran yang tepat dalam waktu singkat.
“Masalahnya bukan hanya pada siswa. Guru pun masih beradaptasi dengan format baru TKA. Kalau waktunya singkat, tentu semua pihak merasa terbebani,” ujar Satriawan.
Kekhawatiran di Kalangan Siswa
Bagi banyak siswa, ujian TKA dianggap terlalu kompleks dan tidak proporsional dengan waktu belajar yang mereka miliki.
Format soal yang berbeda dari ujian sebelumnya membuat mereka harus menyesuaikan cara belajar dari awal.
Beberapa pelajar mengaku baru memahami karakter soal TKA setelah mengikuti try-out yang diadakan sekolah atau lembaga bimbingan belajar.
“Materinya luas dan jenis soalnya beda dari ujian biasa. Waktu kami cuma beberapa bulan untuk beradaptasi,” ungkap salah satu siswa yang menandatangani petisi tersebut.
Banyak juga siswa yang khawatir jika nilai TKA akan berpengaruh pada peluang mereka masuk ke perguruan tinggi negeri.
Meskipun pemerintah menegaskan tes ini bukan syarat utama, anggapan bahwa nilai TKA akan menjadi pertimbangan tambahan tetap menimbulkan tekanan psikologis di kalangan pelajar.
Sorotan Publik dan Desakan Evaluasi
Meningkatnya dukungan terhadap petisi online menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap sistem asesmen pendidikan nasional.
Sebagian masyarakat mendukung langkah siswa sebagai bentuk kritik konstruktif, sementara pihak lain menilai perubahan sistem memang perlu dilakukan agar kualitas pendidikan meningkat.
Namun, banyak pengamat pendidikan menilai waktu implementasi yang singkat membuat transisi ke TKA kurang ideal.
Jika tidak disertai persiapan matang, ujian berpotensi hanya menjadi beban tambahan tanpa memberikan gambaran nyata tentang kemampuan siswa.
Beberapa pihak juga mengusulkan agar pemerintah menunda pelaksanaan TKA atau menyesuaikan jadwal agar sekolah memiliki cukup waktu untuk beradaptasi.
Langkah ini dianggap penting demi menjaga keadilan dan mencegah kesenjangan antarwilayah, terutama bagi sekolah dengan fasilitas belajar yang masih terbatas.
Arah Kebijakan Selanjutnya
Kementerian Pendidikan menyatakan masih akan terus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan TKA.
Pemerintah berkomitmen memastikan setiap kebijakan pendidikan diterapkan secara adil, transparan, dan berpihak pada siswa.
Sementara itu, asosiasi guru dan pemerhati pendidikan berharap ada ruang dialog antara pemerintah, guru, dan siswa untuk mencari solusi terbaik.
Pendidikan, menurut mereka, bukan hanya soal ujian, tetapi juga proses pembentukan karakter dan kemampuan berpikir kritis.
Perdebatan mengenai TKA ini memperlihatkan satu hal penting: perubahan sistem pendidikan harus dilakukan dengan komunikasi yang baik dan perencanaan yang matang.
Tanpa itu, bahkan kebijakan yang bertujuan baik bisa menimbulkan keresahan di lapangan.
Kesimpulan
Petisi pembatalan TKA menjadi refleksi bahwa banyak siswa dan guru masih merasa belum siap menghadapi perubahan besar dalam sistem pendidikan.
Pemerintah diharapkan mendengar suara mereka dan memastikan setiap kebijakan baru benar-benar memperhatikan kesiapan sekolah dan peserta didik.
Perjalanan menuju sistem asesmen yang lebih baik memang tidak mudah.
Namun dengan dialog terbuka antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat, ujian seperti TKA bisa menjadi sarana peningkatan kualitas, bukan sekadar sumber kekhawatiran.

Cek Juga Artikel Dari Platform medianews.web.id
