indosiar.site Menjelang pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025, muncul sebuah gelombang protes besar dari kalangan pelajar SMA di Indonesia. Mereka menyuarakan penolakan terhadap pelaksanaan TKA melalui petisi daring berjudul “Batalkan Pelaksanaan TKA 2025” di platform Change.org.
Petisi ini dibuat oleh seorang siswa dengan nama akun Siswa Agit. Dalam penjelasan petisinya, ia menilai bahwa TKA hanya menambah beban akademik di tengah jadwal belajar yang sudah padat. Petisi ini kemudian menyebar luas di media sosial dan menarik perhatian publik.
Isi Petisi dan Alasan Penolakan
Dalam deskripsinya, Siswa Agit menulis bahwa pelajar tidak menolak evaluasi kemampuan akademik, namun menolak cara pelaksanaannya yang dianggap terburu-buru dan tidak efektif.
Menurutnya, banyak siswa belum memahami format ujian TKA dan belum menerima bimbingan yang memadai dari sekolah. Selain itu, TKA juga dinilai tidak relevan dengan kebutuhan pendidikan di tingkat SMA yang fokus pada ujian akhir sekolah dan persiapan kuliah.
“Selama ini kami sudah menjalani banyak ujian. Sekarang harus ditambah lagi dengan TKA tanpa kejelasan fungsi dan manfaatnya. Kami lelah, dan kami butuh ruang untuk belajar dengan tenang,” tulis Siswa Agit dalam petisi tersebut.
Petisi itu menyerukan agar pemerintah meninjau ulang atau membatalkan TKA. Ia juga mengusulkan agar pemerintah mengganti tes tersebut dengan program asesmen yang lebih bersifat pembinaan, bukan kompetisi.
Dukungan dari Pelajar dan Guru
Tak butuh waktu lama, petisi ini berhasil mengumpulkan lebih dari 200 ribu tanda tangan. Banyak pelajar dari berbagai daerah ikut mendukung. Mereka membagikan tautan petisi di media sosial dan menuliskan pengalaman pribadi mereka terkait kelelahan akademik.
Beberapa guru juga menilai bahwa pelaksanaan TKA terlalu berdekatan dengan ujian semester dan seleksi masuk perguruan tinggi. Hal ini menimbulkan beban ganda bagi siswa yang sudah dipenuhi tekanan akademik tinggi.
Guru dari salah satu SMA di Yogyakarta mengungkapkan bahwa sekolah belum mendapatkan panduan resmi mengenai teknis pelaksanaan TKA. “Kami belum tahu bentuk soal, kriteria penilaian, atau bagaimana hasilnya akan digunakan,” ujarnya.
Keresahan ini meluas hingga menjadi perbincangan nasional. Banyak orang tua juga menyuarakan dukungan terhadap pembatalan tes tersebut.
Respons Pemerintah dan Tanggapan Mendikdasmen
Menanggapi gelombang penolakan ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) akhirnya memberikan klarifikasi resmi. Ia menyebut bahwa TKA tetap akan dilaksanakan, tetapi dengan beberapa penyesuaian.
Menurutnya, TKA bukan ujian tambahan yang memberatkan, melainkan alat ukur untuk memetakan kemampuan belajar siswa di seluruh Indonesia. Hasilnya akan digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran dan pemerataan mutu pendidikan antar daerah.
“Tes ini tidak menentukan kelulusan siswa. Tidak perlu khawatir, karena tujuan TKA adalah untuk evaluasi, bukan penilaian individu,” tegas Mendikdasmen.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah akan memberikan panduan teknis lebih rinci kepada sekolah-sekolah. Dengan begitu, para guru dan siswa dapat memahami tujuan tes ini secara utuh sebelum pelaksanaan berlangsung.
Penyesuaian Format dan Pelaksanaan TKA
Sebagai bentuk tanggapan atas keresahan siswa, pemerintah berencana menyesuaikan format TKA agar lebih fleksibel dan ramah bagi peserta didik. Beberapa poin perubahan yang sedang dipertimbangkan antara lain pengurangan jumlah soal dan penggunaan sistem berbasis komputer secara bertahap.
Selain itu, pemerintah akan menyiapkan simulasi dan materi latihan agar siswa tidak merasa terbebani. Ujian juga akan dibagi menjadi dua bagian: pengetahuan umum dan pemecahan masalah kontekstual.
Mendikdasmen menekankan bahwa hasil TKA tidak akan memengaruhi kelulusan atau nilai rapor. “Kami ingin membangun sistem asesmen yang memotret kemampuan belajar siswa secara menyeluruh, bukan sekadar menilai angka,” ujarnya.
Reaksi Publik dan Evaluasi Lanjutan
Walau ada klarifikasi dari Mendikdasmen, sebagian masyarakat tetap skeptis. Banyak yang menilai bahwa pelaksanaan TKA justru memperlihatkan kurangnya komunikasi antara pemerintah dan pelajar.
Sejumlah organisasi pelajar bahkan menyampaikan surat terbuka yang berisi usulan agar pemerintah menunda pelaksanaan TKA hingga sistem dan panduannya benar-benar matang. Mereka menilai kebijakan pendidikan harus melibatkan suara siswa, bukan hanya keputusan administratif.
Beberapa pakar pendidikan pun angkat bicara. Menurut mereka, TKA sebenarnya bisa menjadi langkah baik jika dijalankan secara bertahap dan konsisten. Namun, pelaksanaannya tidak boleh tiba-tiba dan harus mempertimbangkan kesiapan sekolah.
Kesimpulan: Perlu Dialog, Bukan Sekadar Petisi
Artikel ini menunjukkan bahwa petisi “Batalkan Pelaksanaan TKA 2025” mencerminkan kegelisahan generasi muda terhadap sistem evaluasi pendidikan nasional. Lebih dari sekadar protes, gerakan ini menuntut perubahan cara pandang terhadap pembelajaran yang lebih manusiawi dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Mendikdasmen telah berkomitmen melakukan evaluasi agar pelaksanaan TKA berjalan lebih baik. Namun, suara para siswa tetap perlu didengar agar kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada peserta didik.
Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang ujian, tetapi tentang bagaimana membentuk karakter, logika berpikir, dan semangat belajar sepanjang hayat. Dialog antara pemerintah, guru, dan pelajar adalah kunci agar sistem pendidikan Indonesia berkembang dengan arah yang lebih adil dan inklusif.

Cek Juga Artikel Dari Platform pestanada.com
