indosiar.site Peristiwa yang menimpa seorang remaja suku Baduy Dalam bernama Repan kembali menggugah perhatian publik terhadap hak kesehatan masyarakat adat di Indonesia. Kisahnya bermula saat ia menjadi korban pembegalan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Akibat serangan itu, tangan kirinya terluka parah karena menangkis sabetan benda tajam.
Dalam kondisi berdarah, Repan berusaha mencari pertolongan ke rumah sakit terdekat. Namun, harapannya pupus ketika pihak rumah sakit menolak memberikan layanan dengan alasan ia tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Bagi sebagian orang, peraturan administratif mungkin terdengar sederhana. Tetapi bagi masyarakat Baduy Dalam, yang secara adat tidak diperbolehkan memiliki identitas elektronik, hal ini menjadi persoalan serius yang menyangkut hak dasar kemanusiaan.
Miskomunikasi atau Diskriminasi Sistemik?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian menyebut insiden tersebut sebagai bentuk miskomunikasi. Namun, banyak pihak menilai masalah ini jauh lebih kompleks dari sekadar kesalahan komunikasi. Kasus ini menyoroti celah besar dalam sistem jaminan kesehatan nasional yang belum sepenuhnya inklusif terhadap masyarakat adat.
Masyarakat Baduy Dalam, misalnya, hidup dengan tatanan sosial dan budaya yang ketat. Mereka tidak menggunakan teknologi modern, tidak memiliki KTP, dan tidak ikut program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Namun, selama mereka masih berada di wilayah Provinsi Banten, pemerintah daerah setempat sudah mengakomodasi kebutuhan medis mereka melalui mekanisme layanan kesehatan khusus tanpa KTP.
Masalah muncul ketika anggota komunitas ini bepergian ke luar daerah, seperti ke Jakarta. Sistem administrasi antarprovinsi belum memiliki mekanisme fleksibel untuk menangani masyarakat adat yang tidak memiliki identitas formal. Akibatnya, mereka seringkali tertolak saat membutuhkan layanan dasar seperti pengobatan darurat.
Hak Kesehatan Sebagai Hak Asasi
Dalam konstitusi Indonesia, hak atas kesehatan dijamin sepenuhnya. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, tanpa diskriminasi. Prinsip ini seharusnya berlaku universal, termasuk bagi komunitas adat yang masih hidup dengan sistem tradisionalnya.
Namun, di lapangan, aturan administratif sering menjadi penghalang. Ketiadaan dokumen kependudukan, seperti KTP dan kartu BPJS, membuat rumah sakit terikat pada sistem yang tidak mengenal pengecualian. Dalam situasi gawat darurat sekalipun, prosedur administratif sering kali menghambat pelayanan medis yang seharusnya segera diberikan.
Menurut pengamat kebijakan publik, pemerintah perlu mendesain sistem kesehatan yang lebih adaptif terhadap keragaman sosial dan budaya di Indonesia. “Negara tidak bisa menuntut masyarakat adat menyesuaikan diri dengan sistem administratif modern begitu saja. Harus ada mekanisme khusus yang menghormati adat mereka,” ujarnya.
Tantangan Integrasi Data dan Kebijakan
Salah satu persoalan mendasar adalah ketiadaan sistem data nasional yang mengakomodasi masyarakat adat non-administratif. Dalam sistem digital kependudukan Indonesia, seseorang yang tidak memiliki NIK tidak bisa diintegrasikan ke layanan kesehatan nasional. Hal ini menyebabkan kelompok seperti Baduy Dalam atau Suku Anak Dalam di Jambi berada di luar radar sistem jaminan sosial modern.
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan sebenarnya telah berdiskusi tentang opsi identitas alternatif non-elektronik yang bisa digunakan masyarakat adat. Namun, implementasinya masih terbatas karena persoalan legalitas dan pembiayaan. Sementara itu, banyak rumah sakit, terutama di perkotaan, hanya menerima pasien dengan dokumen administratif lengkap.
Pengamat menilai perlu ada protokol nasional layanan darurat tanpa syarat administratif, khususnya untuk kasus gawat seperti luka berat, persalinan, atau kecelakaan. Prinsip kemanusiaan harus menjadi prioritas di atas birokrasi.
Dimensi Sosial dan Budaya
Selain aspek administratif, kasus Repan juga mengungkap tantangan sosial dan budaya dalam hubungan antara masyarakat adat dan dunia modern. Bagi masyarakat Baduy Dalam, konsep identitas diri tidak diukur dari kepemilikan dokumen. Mereka mengandalkan sistem pengakuan adat dan komunitas.
Namun, realitas modern seperti akses kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan kini terikat pada sistem identitas digital. Ketegangan antara nilai tradisional dan modern inilah yang sering kali memunculkan konflik dalam kebijakan publik.
“Bagi kami, menjaga adat adalah bentuk menjaga kehormatan. Tapi kami juga butuh pengakuan bahwa kami bagian dari bangsa ini,” ungkap salah satu tokoh Baduy Luar saat diwawancarai media lokal.
Upaya Pemerintah dan Tantangan ke Depan
Beberapa lembaga, seperti Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan, telah mencoba membuka jalur kolaborasi dengan pemerintah daerah Banten untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan bagi masyarakat Baduy. Salah satunya dengan menggunakan sistem rujukan komunitas, di mana kepala desa atau juru bicara adat dapat mengonfirmasi identitas pasien tanpa KTP.
Namun, mekanisme ini belum diterapkan secara nasional. Banyak tenaga medis di luar Banten tidak memahami protokol tersebut, sehingga masih terjadi kesalahpahaman seperti kasus Repan.
Pemerhati hak masyarakat adat menilai, solusi jangka panjang harus mencakup reformasi kebijakan lintas sektor—mulai dari administrasi kependudukan hingga kesehatan. “Negara perlu membuat sistem yang tidak hanya digital, tetapi juga manusiawi. KTP bisa hilang, tapi kemanusiaan tidak boleh ikut hilang,” tegasnya.
Penutup
Kasus penolakan warga Baduy di rumah sakit menjadi cermin rapuhnya inklusivitas sistem kesehatan nasional. Di tengah kemajuan teknologi dan digitalisasi layanan publik, masih ada warga negara yang tidak bisa mengakses hak dasar karena perbedaan cara hidup dan nilai budaya.
Kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat komitmen terhadap pelayanan kesehatan berbasis keadilan sosial dan kearifan lokal. Negara harus hadir bukan hanya melalui peraturan, tetapi juga lewat empati dan adaptasi kebijakan yang menghormati keberagaman warganya.
Hanya dengan cara itu, hak kesehatan benar-benar bisa dirasakan oleh semua, termasuk mereka yang memilih hidup dalam kesederhanaan adat seperti masyarakat Baduy Dalam.

Cek Juga Artikel Dari Platform ngobrol.online
